Rabu, 13 April 2011

BENANG MERAH : "Kongkalingkong Bisnis Buku LKS"

Posted by Realita Nusantara 19.43, under |

REALITA NUSANTARA - ONLINE

Illustasi : Foto-foto Istimewa dari berbagai sumber.***
LAPORAN KHUSUS "BENANG MERAH" BISNIS BUKU LKS

Kongkalingkong Bisnis Buku LKS
BUKU Lembar Kerja Siswa (LKS) kini seolah jadi ladang bisnis para guru, kepala sekolah (SD/SMP) sampai UPTD Dinas Pendidikan. Bila proses pengadaan buku bersangkutan murni tanpa embel-embel kongkalingkong berbau gratifikasi mungkin masih dimaafkan orangtua siswa, namun yang terjadi justeru sebaliknya.
            Penelusuran Kabar Cirebon di lapangan menunjukkan masuknya buku LKS dari penerbit melalui distributor seolah menjadi “kue” yang bisa dinikmati bersama. Karena manisnya kue itu, minimal keuntungan yang didapat dari penjualan buku kepada siswa bisa berlipat-lipat. Hampir semua pihak di sekolah menikmati keuntungan. Tak terkecuali sekolah-sekolah yang ada di Kota Cirebon.
            Untuk satu buku LKS di tingkat SD dijual kepada siswanya rat-rata seharga Rp 8.000/mata pelajaran. Padahal buku ini sebelumnya di tingkat distributor harganya hanya Rp 2.300. Lalu kemana selisih Rp 5.700 mengalir ? Ternyata, Rp 3.500 masuk kantong kepala sekolah dan guru. Yang Rp 2.200 lagi dinikmati UPTD.
            Lain lagi di SMP, LKS yang dijual sekolah kepada siswanya sebesar Rp 8.000/eksemplar untuk semua mata pelajaran. Dari hasil penjualan itu, setiap sekolah rata-rata mendapat keuntungan Rp 3.800/eksemplar dari selisih antara harga distributor dengan nilai jual ke siswa (setelah dipotong keuntungan buat UPTD).
            Lain lagi fee yang diminta kepala sekolah SMP sebesar Rp 30-35 juta/tahun sebagai jasa atas dibantunya penjualan buku LKS kepada anak didiknya. Rupanya, keuntungan sebesar ini telah membutakan mereka atas adanya larangan dari Kemendiknas dan juga KPK, atas perilaku negatif mengecer buku LKS di atas (baca juga “Bukan Cerita Sinetron”).
            “Zaman saya tidak sampai sebesar itu, tapi memang ada keuntungan yang bisa dinikmati, baik untuk guru, bagian umum maupun kepala sekolah. Setahun bisa menikmati dua kali keuntungan dari penjualan buku LKS. Untuk satu semester hasil penjualan mencapai Rp 100 juta. Sementara keuntungan satu jenis buku bisa Rp 3.000,” kata seorang kepala SMP Negeri yang enggan disebutkan jati dirinya.
            Pembelaan apa pun yang terlontar dari sekolah, tetap saja persoalan penjualan buku LKS telah membuat berang orangtua siswa. “Percuma saja sekarang ada kebijakan sekolah gratis, kalau murid masih saja dibebankan membeli buku. Dimana hati nurani para pendidik kita ?,” ujar Izudin, bapak dari dua orang anak yang sekolah di SD dan SMP.
Modus Gratifikasi
            Diperkirakan keuntungan langsung yang dinikmati per sekolah dari penjualan buku LKS untuk semua mata pelajaran sangat besar. Bagaimana tidak, bila keuntungan per buku sekian lalu dikalikan jumlah siswa dan jumlah mata pelajaran, maka akan didapat rupiah dengan nilai tinggi. Bisa puluhan juta.
            Itu baru satu sekolah, lalu bagaimana kalau keuntungan per sekolah dikalikan lagi dengan total sekolah yang ada di Kota Cirebon ? Uang yang berbau Gratifikasi tadi bisa mencapai ratusan juta rupiah per tahun.
            Bila ditarik dari sekolah saja, untuk seorang siswa SD ada delapan buku LKS yang harus dimiliki, yaitu mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPA, IPS, PKn, Pendidikan Agama Islam, dan Bahasa Sunda. Begitu juga untuk seorang siswa SMP ada sekitar 13 buku LKS, terdiri dari Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris, PKn, Bahasa Sunda, Bahasa Cirebon, Budi Pekerti, Bimbingan Konseling, TIK, Pendidikan Agama Islam, dan Seni Budaya.
            Jika begitu, lalu pantas saja keuntungan bisa berlipat. Apalagi penjualan buku LKS di setiap sekolah dilakukan dua kali dalam setahun atau setiap anam bulan (satu semester). Penyusun LKS di masing-masing penerbit sengaja membuat masa manfaat buku LKS hany enam bulan. Ironisnya, setiap enam bulan sekali siswa harus memiliki buku LKS.
            Kontan saja realitas ini mebuat sekolah dan oknum kepala sekolah dan guru bisa bernafas panjang guna mengeruk keuntungan. Karena bagaimana pun juga, laba atau fee dari menjual LKS ini begitu manisnya, sehingga bisa dirasakan semua pihak. Bak mata rantai yang tak terpisahkan.
            Pola yang demikian memang sulit dihindarkan. Pasalnya, di tingkat SD, distributor tak bisa seenaknya masuk menjual buku langsung ke sekolah hanya dengan menemui kepala sekolah. Lalu modus seperti apa yang bisa dipakai para pelaku praktik gratifikasi mengarah korupsi pada tingkat praktik jual-beli LKS tersebut ?
            “Rata-rata sulit kalau langsung menemui kepala sekolah, justeru kepala sekolah tidak mau menerima. Setelah dikomunikasikan dengan Kepala UPTD Pendidikan, bisa masuk kembali ke sekolah,” kata salah seorang distributor buku LKS yang enggan disebutkan jati dirinya.
            Jalan pintas yang bisa dilakukan distributor agar buku-bukunya bisa terjual hanya melalui cara menemui Kepala UPTD Pendidikan di setiap kecamatan. Setelah mendapat restu dan “dikondisikan” UPTD, buku LKS bisa dengan mudah didistribusikan atau dipasarkan di SD.
            “Buku dijual Rp 8.000/eksemplar kepada siswa. Disetorkan dari sekolah ke distributor Rp 4.500, dari distributor ke penerbit Rp 2.300. Sedangkan ke UPTD Rp 2.200/eksemplar. Jika setiap UPTD jumlah siswa rata-rata 8.000 dan membeli lima mata pelajaran, maka bisa mendapat Rp 96 juta per semester. Belum lagi selisih antara harga jual dengan pengembalian ke distributor Rp 3.500/eksemplar yang menjadi keuntungan sekolah,” papar sumber tadi.
            Lain lagi dengan jalur perdagangan buku LKS di tingkat SMP. Pintu masuknya, distributor langsung menemui kepala sekolah. Misalnya dengan harga jual buku Rp 8.000/eksemplar, maka sekolah menyetrokan hasil penjualan kepada distributor Rp 4.200/eksemplar. Di sini ada keuntungan di luar kewajiban untuk menyerahkan ke distributor yaitu Rp 3.800/eksemplar. Penghitungan harga jual Rp 8.000 dikurangi Rp 4.200.
            Ironisnya, sebelum seluruh buku yang masuk laku terjual, kepala sekolah telah meminta uang pembagian di muka yang besarnya Rp 35 juta/tahun.
            Sistem bagi-bagi untung tersebut, masih kata distributor tersebut, sudah merupakan gejala umum di Wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan (Ciayumajakuning). Bahkan telah berlangsung lama.
            “Sudah terjadi sejak 2005 sistem seperti itu,” katanya yang menyebutkan ada 25 distributor LKS di Wilayah Ciayumajakuning.
            Kalau saja sekolah tidak “mencekik” harga buku LKS setiap mata pelajaran yang dijual kepada anak didiknya cukup dihargai Rp 5.000, sekolah maupun UPTD masih dapat menikmati keuntungan. “Toh harga LKS dari penerbit Rp 2.100 – Rp 2.300 per buku,” ujar sumber penerbit lainnya.
            Dengan sekolah atau UPTD tak mencekik harga, anak didik tidak terasa begitu berat untuk membeli satu paket LKS. Apalagi, bagi anak didik yang berasal dari keluarga kurang mampu. Belum lagi nanti di tahun ajaran baru 2011-2012 mendatang. Harga pokok buku LKS akan mengalami kenaikkan.
            Sumber Kabar Cirebon dari salah satu penerbit menyebutkan kenaikkan harga setiap buku sebesar Rp 100. Rinciannya, untuk LKS 60 halaman dari Rp 2.100 menjadi Rp 2.200, 80 halaman dari Rp 2.500 menjadi Rp 2.600, dan 90 halaman dari Rp 2.900 menjadi Rp 3.000.
Dilarang
            Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMP/MTs Kota Cierbon, Agus Sunandar secara terpisah mengatakan, sebetulnya ada ketentuan sekolah yang tidak boleh menjual buku, termasuk LKS. Namun rata-rata yang terjadi di lapangan dari distributor langsung ke sekolah agar buku bisa terjual.
            “Sepengetahuan saya, kedatangan distributor langsung ke kepala sekolah itu karena buku LKS akan dipasarkan melalui koperasi. Jadi rata-rata penjualan buku LKS langsung melalui koperasi dan sudah pasti ada rabat yang didapat. Nanti keuntungannya tetap dirasakan para guru dan kepala sekolah dalam bentuk sisa hasil usaha (SHU),” kata Agus.
            Pelaksana Harian (Plh) Kepala Dinas Pendidikan, Jaja Sulaeman juga mengatakan, sekolah pada dasarnya dilarang bertindak menjadi distributor, apalagi pengecer buku kepada peserta didik di sekolah bersangkutan. Hal itu sebagaimana diatur dalam pasal 11 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 2 tahun 2008.
            “Bagaimana pun yang namanya jual-beli pasti ada untung. Jadi seharusnya sekolah tidak boleh menjual buku, termasuk LKS. Aturannya sudah cukup jelas,” katanya.
            Karena itu, pihaknya akan membuat langkah berupa pengkajian masih layak atau tidak keberadaan LKS di sekolah dengan melakukan kajian melibatkan pengawas sekolah.
Pihaknya belum bisa memutuskan pelarangan atau menghentikan masuknya LKS ke sekolah-sekolah hanya karena keputusan yang terburu-buru. “Khusus untuk UPTD yang memang seperti disebutkan, kami akan memanggilnya,” tegas Jaja. ***
             
MASALAH SEKOLAH JUAL BUKU LKS
Bukan Cerita Sinteron
            ORANGTUA murid seketika bereaksi setelah mendengar Kepala SMP Negeri 1 Kota Cirebon, Tusman mengeluarkan kebijakan menghentikan distribusi buku lembar kerja siswa (LKS) dari distributor yang sejak lama “setia” bersama. Mereka khawatir dengan nasib (kemampuan-Red) anaknya dalam penguasaan materi pelajaran akibat tak diperbolehkannya menggunakan LKS. Tak ayal, sebagian dari orangtua memprotes langsung kepada Tusman.
            Kisah itu menjadi pengalaman tersendiri bagi Tusman di awal-awal dirinya memimpin SMP Negeri 1. Namun beruntung protes orangtua tak sampai berlanjut seperti cerita dalam sinetron. Karena apa yang terjadi benar-benar kisah sejati, bukan cerita sinetron di televisi.
Semua berakhir positif, setelah Tusman memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai maksud dan tujuan dihentikannya penggunaan LKS bagi seluruh siswa.
Menurut Tusman, dikeluarkannya kebijakan tak lagi menggunakan LKS bagi seluruh anak didiknya karena merujuk Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 2 tahun 2008. Dalam pasal 11 peraturan ini disebutkan, sekolah dilarang menjadi distributor atau pengecer buku kepada peserta didik di sekolah yang bersangkutan.
Bahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadikan pasal 11 tersebut sebagai tagline dalam signboard yang dipasang di sejumlah sekolah penerima BOS untuk menjadi perhatian. “Sudah jelas aturannya, sehingga kami tidak berani menggunakan LKS. Dan saya sudah menyampaikan langsung kepada seluruh guru agar tidak lagi menggunakan LKS,” kata Tusman.
Pihaknya tak ingin menanggung risiko jika harus memilih kebijakan tetap menggunakan buku LKS yang dipasarkan distributor. Apalagi, dalam signboard, KPK mebuka layanan pengaduan yang bisa diakses melalui telepon atau pesan singkat jika diketahui sekolah menjadi distributor atau pengecer buku.
Selain karena aturan tersebut, Tusman melihat juga bahwa tanpa adanya buku LKS pun ternyata kemampuan siswa dalam penguasaan materi pelajaran tak berpengaruh. Sejak sat itu, SMP Negeri 1 tak lagi menggunakan LKS bagi anak didiknya.
“Kegiatan belajar mengajar tetap efektif tanpa LKS. Bahkan, lebih baik lagi tanpa LKS,” ujar Tusman.
Untuk memperdalam dan mengukur kemampuan masing-masing siswa dalam penguasaan materi ajar bisa dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya memanfaatkan teknologi informasi dan komputerisasi. Siswa bisa download dari internet dan buku-buku dari Dirjen khusus RSBI.
“Jadi banyak sarana yang dimiliki sekolah untuk membantu meningkatkan kemampuan siswa,” katanya.
Nilai positif lain dengan tidak lagi menggunakan LKS, Tusman dapat memberikan peluang kepada guru agar lebih kreatif dan mengeksplorasi kemampuan yang dimiliki. Khususnya dalam menyusun modul pembelajaran yang memudahkan anak didik mengenai materi ajar. Buah pemikiran guru itu selanjutnya ditransfer kepada anak didik di semua tingkatan.
Malas
Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Dewan Pendidikan Kota (DPK) Cirebon, M. Rafi justeru menilai adanya LKS di sekolah membuat guru menjadi malas mengajar, kurang inovatif dan kreatif serta mebuat siswa menjadi pandai mencontek.
Keberadaan buku LKS juga tidak sejalan dengan program sertifikasi profesi guru yang mendorong semangat (guru) lebih kreatif dan inovatif dalam mencerdaskan anak didik.
“Jadi sudah seharusnya seluruh sekolah tidak perlu lagi menggunakan LKS karena tidak efisien,” tandas Rafi.
Sebaliknya, menurut Rafi, upaya guru menciptakan anak didik yang berkualitas dan berdaya saing dapat dilakukan dengan menciptakan sendiri lembar kerja seperti yang dulu pernah dilakukan. Cara ini menjadikan guru lebih kreatif dan inovatif tanpa menggantungkan pada keberadaan LKS yang dijual distributor. ***
Laporan : Epih Pahlavi, Jejep Palahul, dan Toni.
Koordinator:  Raharja
Source : Kabar Cirebon, Rabu (Legi), 13 April 2011 (8 Jumadil Awal 1432 H) Hal. 9
Sumber: www.pendopoindramayu.blogspot.com Rabu, 13 April 2011

Illustrasi : Foto-foto istimewa dari berbagai sumber.***

Tags

BLOG ARSIP

BIAYA IKLAN

BIAYA IKLAN
=== Terima Kasih atas partisipasi Anda dalam membangun kemitraan dengan kami ===

INDRAMAYU POST

Blog Archive

PROFIL

REALITA NUSANTARA Email: realitanusantara@yahoo.com

Pengurus SWI

Pengurus SWI
DEWAN PIMPINAN CABANG SERIKAT WARTAWAN INDONESIA (SWI)