Ada Mafia Hukum di Istana?
REALITA NUSANTARA – ONLINE. JAKARTA
Jakarta, PELITA Indonesia – Terungkapnya 61 dokumen izin pemeriksaan kepala daerah atau wakil kepala daerah yang telah diajukan Kejaksaan Agung (Kejagung) kepada Presiden, dan tak kunjung turun ke Kejagung, padahal Presiden mengaku sudah menandatanganinya, memunculkanberbagi spekulasi di berbagai kalangan. Ada yang menduga, ada mafia hukum di istana.
Dugaan tersebut disampaikan anggota Komisi III DPR-RI, Bambang Soesatyo di gedung DPR belum lama ini. Menurutnya, ada dugaan, lembaga kepresidenan sudah dihinggapi mafia hukum. “Kantor presiden saya kira patut diduga sudah digerayangi mafia hukum,” katanya
Bambang Soesatyo mengungkapkan, bahwa Presiden SBY diyakini tidak memiliki keterlibatan dalam permasalahan tersebut. “Karena sebagaimana penjelasan Presiden SBY belum lama ini, yang justru memastikan bahwa semua izin pemeriksaan yang domohonkan Kejagung sudah ditandatangani. Demikian juga dengan Kapuspenkum Kejagung yang mengaku belum menerima 61 dokumen izin pemeriksaan, bukanlah bahasa bohong, karena dampaknya akan sangat luas,” jelasnya.
Politisi Partai Golkar ini berpendapat, untuk mengeluarka dokumen izin pemeriksaan yang sudah ditandatangani Presiden, proses waktu normalnya cukup dilakukan dengan hitungan hari. Tapi waktu lebih lima tahun sebagaimana dikeluhkan Kapuspenkum Kejagung menurutnya sangatlah lama dan tidak normal.
“Kalau saya patut diduga, tindakan itu (memperlambat penyerahan dokumen-red) sebagai upaya untuk menghalang-halangi pemeriksaan Kepala Daerah tersangka tindak pidana korupsi. Dalam hal ini ada oknum di kantor Presiden yang punya kepentingan melindungi para tersangka,” jelasnya.
Bambang juga mempunyai kecurigaan, para oknum di kantor Presiden yang diduga bersekongkol melindungi pelaku korupsi ini, menurutnya, tidak tertutup kemungkinan bekerjasama dengan mafia hukum di luar, dalam rangka bersama-sama menghalang-halangi pemeriksaan oleh Kejagung.
“Ini kecurigaan yang sangat mendasar. Kalau Presiden sudah clear bilang sudah tandatangan, dan Kapuspenkum juga clear belum terima dokumen, kesimpulannya kan ada yang menahan agar dokumen izin itu tidak keluar dari kantor Presiden,” tandasnya.
Seperti diketahui, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum Kejagung) Noor Rochmad, beberapa waktu lalu, mengatakan, bahwa pihaknya telah mengajukan izin pemeriksaan para kepala daerah itu sebagai tersangka maupun saksi sejak 2005 hingga 2011.
Namun, permintaan izin pemeriksaan terhadap 61 kepala daerah atau wakil kepala daerah yang diajukan Kejagung kepada Presiden itu hingga kini tidak jelas juntrungannya.
Sementara itu, pihak Istana meragukan, apakah betul sudah ada surat permintaan permintaan izin pemeriksaan 61 kepala daerah tersebut. “Kalau memang ada, pasti dua atau tiga hari akan ditandatangani Presiden. Presiden tidak pernah menghambat suatu proses hukum apabila memang yang bersangkutan bersalah,” kata Staf Khusus Presiden Bidang Informasi, Heru Lelono, di Jakarta belum lama ini.
Dari data yang diperoleh, dari pihak Kejagung, dari 61 kasus Kepala Daerah itu, dua diantaranya adalah perkara dugaan korupsi yang membelit Gubernur Kalimantan Timur, Awang Faroek Ishak dan tersangka Gubernur Kalimantan Selatan, Rudy Arifin.awang menjadi tersangka pada 9 Juli 2010. Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM-Pidsus) Muhammad Amari, menetapkan Awang sebagai tersangka kasus divestasi saham PT Kaltim Prima Coal.
Awang disangka merugikan negara Rp 576 miliar, karena pengalihan, penjualan, dan penggunaan dana hasil penjualan saham milik Pemerintah Kaupaten Kutai Timur pada PT Kaltim Prima Coal (PT KPC), oleh PT Kutai Timur Energi (PT KTE). Saat itu Awang menjabat sebagai Bupati Kutai Timur. Awang disangka mengambil keputusan penggunaan hasil uang penjualan saham PT KTE yang bertentangan dengan cara pengelolaan keuangan daerah.
Namun, kasus itu hingga kini belum dapat terselesaikan, karena Kejaksaan masih menunggu izin Presiden. Menurut Amari, pihaknya sudah melampirkan laporan Nadan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai kerugian negara kepada Sekretariat Kabinet, untuk dilaporkan kepada Presiden.
Sementara itu, Gubernur Kalimantan Selatan, Rudy Arifin,ditetapkan oleh Kejagung sebagai tersangka pada 28 September 2010. Rudy diduga terlibat korupsi pemberian uang santunan pembebasan tanah eks PT Pabrik Kertas Martapura oleh panitia pengadaan tanah Kabupaten Banjar 2002-2003, dan mengeluarkan Surat Keputusan tentang Pembentukan Tim Pengembalian dan Pemanfaatan eks Pabri Kertas Martapura tahun 2001.
Sk tersebut dikeluarkan untuk membebaskan tanah Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama pemegang hak PT Golden Martapura, milik Gunawan Sutanto.
Kemudian, Rudy menerbitkan SK Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten Banjar, tentang bentuk dan besarnya santunan dalam rangka pengadaan tanah, pada 2002. Seharusnya, menurut Kejagung, tindakan pembebasan tanah milik PT Golden tidak dilakukan, karena Rudy mengetahui HGB-nya sudah berakhir masa berlakunya.
Akibatnya, negara diduga dirugikan Rp 6,3 miliar. Kejaksaan juga belum mengantongi izin untuk memeriksa Rudy.
“Kejaksaan berbeda dengan KPK yang memiliki kewenangan memeriksa kepala daerah tanpa melalui izin Presiden. Karena belum ada izin pemeriksaan, kejaksaan hanya bisa menunggu. Bukan karena ada intervensi politik,” kata Noor.
Disebutkan pula, berkas perbaikan permohonan izin pemeriksaan Awang ke Sekretariat Kabinet sudah diaujukan Kejaksaan pada akhir Desember 2010. “Belum ada permintaan perbaikan lagi. Kami hanya bisa menunggu,” terangnya.
Menanggapi kesimpangsiuran proses hukum 61 pejabat daerah yang diduga korupsi tersebut, pengamat politik, yang juga salah satu tokoh partai politik, Anton Leonard, mengatakan, bahwa lingkungan istana telah disusupi mafia hukum. “Ini proyek besar yang harus segera dilakukan penyelidikan. Siapa yang benar dan siapa yang salah,” katanya.
Anton mengungkapkan, bahwa seorang Kepala Pusat Penerangan Kejaksaan Agung tidak mungkin mengeluarkan informasi seperti ini, tetapi tidak akurat. “Dan saya juga tidak yakin Presiden bohong. Jadi, siapa yang berbohong?” tanya anton. red***
Sumber: SKU PELITA Indonesia; No.0006 Thn Ke-002/ Selasa, 26 April – 09 Mei 2011; Hal 1***
Foto-Foto: Ist***