Kebijakan Pemprov DKI mendukung reklamasi bertentangan dengan pemerintah pusat yang justru merencanakan peningkatan kualitas lingkungan hidup
Jakarta, Jaya Pos – Reklamasi pantai Jakarta yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dinilai sebagai tindakan sepihak dan secara terang-terangan berseberangan dengan keinginan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang meminta reklamasi itu dihentikan. Reklamasi yang dilakukn sepihak tersebut akan berdampak buruk pada terjadinya pengikisan pantai oleh tenaga gelombang air laut dan arus laut yang bersifat merusak atau biasa disebut abrasi.
Deputi I Menteri Lingkungan Hidup Bidang Tata Lingkungan, Hermin Rosita mengatakan, reklamasi yang dilakukan di wilayah Ancol bisa disebut sebagai tindakan sepihak, karena sejatinya Teluk Jakarta masuk pada tiga wilayah provinsi yakni, DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat. Tapi karena Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sudah terbagi sendiri-sendiri (parsial), hingga Gubernur DKI Jakarta bisa memberi izin sesui dengan kewenangannya.
“Kalau dikatakn ilegal, tidak lah. Mereka sudah punya AMDAL. Amdalnya memang sudah kita tolak, karena tidak bisa menjawab dampak negatifnya. Namun sekarang, Amdal tersebut terbagi sendiri-sendiri. Gubernurnya kan sudah memberi izin dan dia mempunyai kewenangan. Kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup adalah Teluk Jakarta secara keseluruhan karena Teluk Jakarta itu masuk pada tiga wilayah Provinsi,” kata Hermin Rosita kepada Jaya Pos di kantornya, Kamis (8/7).
Hermin mengakui bahwa reklamasi tresebut tidak bisa dilakukan secara sepihak, karena Teluk Jakarta merupakan kesatuan ekosistem. “Jika reklamasi dilakukan sepihak maka akan berdampak buruk pada terjadinya abrasi apalagi dengan adanya pernyataan Presiden memang reklamasi tersebut seharusnya tidak dilakukan,” tegasnya
Sebagai pihak yang menjaga lingkungan hidup, Kementerian Lingkungan Hidup tetap memantau kegiatan reklamasi. “Kami hanya ingin menyaksikan kegiatan reklamasi tersebut. Kami juga turun bersama Walhi pada tanggal 23 Juni dan kami juga turun ke lokasi diam-diam pada tanggal 24, 25 dan 26 Juni,” kata Hermin.
KERAS KEPALA
Sikap Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Fauzi Bowo yang secara terang-terangan berlawanan dengan keinginan Presiden dan Pemerintah Pusat, dinilai sebagai sikap keras kepala.
“Sikap Gubernur itu saya lihat sebagai sikap keras kepala dan menantang. Kebijakan Pemprov DKI mendukung reklamasi bertentangan dengan Pemerintah Pusat yang justru merencanakan peningkatan kualitas lingkungan hidup di kawasan tersebut,” kata Tom.
Tom menilai, proyek reklamasi dan revitalisasi Teluk Jakarta berdampak buruk bagi lingkungan. Hal itu tercermin melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 14 Tahun 2003 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).
Isinya menyatakan proyek reklamasi dan revitalisasi Teluk Jakarta tidak layak. Mahkamah Agung (MA) memperkuat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 14 Tahun 2003 dengan menolak gugatan enam pengembang reklamasi Teluk Jakarta. Dasar hukum pengembang melegitimasi proyek reklamasi dan revitalisasi Teluk itu adalah Keputusan Presiden No. 92 Tahun 1995 serta Peraturan Daerah No. 06 Tahun 1999 tentang RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah).
Peraturan tersebut didasarkan pada Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Seharusnya acuan yang digunakan adalah aturan terbaru, yakni UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Koalisi Gerakan Penyelamatan Teluk Jakarta mendesak pemerintah menindaklanjuti putusan MA tersebut mengingat dampak buruk reklamasi pantai bagi keseimbangan lingkungan dan masyarakat pesisir.
Tom juga mengkhawatirkan, sebanyak 1,75 juta masyarakat Jakarta akan termarginalisasi bila reklamasi diteruskan.
GAGASAN REKLAMASI
Awal mula gagasan reklamasi Teluk Jakarta sejak rezim Orde Baru. Oleh Presiden Soeharto, ide tersebut menjadi Repelita VI yang tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 17 tahun 1994 tentang Pantura sebagai Kawasan Andalan. Keputusan Presiden Nomor 52/1995 mempertegas bahwa reklamasi akan dilaksanakan di Pntai Utara Jawa. Untuk mendukung Keputusan Presiden tersebut maka lahirlah Peraturan Daerah DKI Nomor 8 tahun 1995.
“Dari segi ilmu perundangan, materi muatan Keppres No. 52/1995 memang merupakan materi sebuah Keppres, karena mengatur segi-segi teknis pelaksanaannya. Akan tetapi ini harus ditetapkan terlebih dahulu melalui suatu produk hukum yang melibatkan partisipasi masyarakat di dalamnya. Karena secara substansi menyentuh kehidupan rakyat secara langsung,” tambah Selamet
Melalui tender Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menugaskan 6 perusahaan swasta melakukan reklamasi di Teluk Jakarta yaitu PT. BME, PT. THI, PT. MKY, PT. PJA, PT. JP dan PT. Pel II. Lantas keenam perusahaan tersebut akhirnya membuat Amdal.
Sayangnya, berdasarkan hasil evaluasi Menteri Lingkungan Hidup pada masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri menentang reklamasi. Sikap ini tertuang pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 14 tahun 2003 yang menyebutkan bahwa Menteri meminta agar Amdal disempurnakan, Amdal belum dapat diterima dan reklamasi tidak dapat dilaksanakan sampai Amdal dinyatakan layak.
Alhasil keenam perusahaan tersebut menggugat Kementerian Lingkungan Hidup di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dengan nomor perkara 75/G.TUN/2003/PTUN-JKT.
“Amdal regional yang berhak menilai adalah wewenang Amdal Pusat (KLH). Karena dalam ketentuan pasal 11 PP No 27/1997 tentang Amdal disebutkan bahwa Komisi penilai pusat berwenang menilai Amdal yang memenuhi kriteria,” tambahnya.
Gugatan 6 perusahaan ke PTUN ini mendapat perlawanan keras dari aktivis lingkungan dan akademisi serta para nelayan di pesisir Jakarta Utara. Di PTUN tingkat pertama dan kedua pengusaha tersebut dimenangkan. Pada tingkat Kasasi inilah, MA mengabulkan permohonan KLH yang berarti reklamasi menyalahi Amdal.
Meski kasus sengketa proyek reklamasi masih berlangsung dan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, pengembang tetap membangun puluhan properti di atas lahan urukan laut. Mulai dari apartemen, kawasan wisata, kota mandiri hingga real estate papan atas. Selain itu, beberapa kawasan reklamasi dijadikan sebagai pusat bisnis dan pabrik. Hingga akhirnya MA mengalahkan para pengusaha tersebut. Ton/L30 P1000***
Foto-Foto: Ist***